Jumat, 13 Februari 2015

Cerpen [Cerita Pendek] : Kelas yang Hilang



abe671715bb3b29671949617f0e4ccf8_cfdf459b6d4b0c43b2efaa98b1cb864f_raw.jpgKelas yang Hilang

Aku mempercepat langkah kakiku untuk mencapai kelasku yang baru, karena hari ini hari pertamaku masuk kelas baru setelah liburan kenaikan kelas. Aku sangat antusias untuk mengetahui suasana kelas dan teman-teman baruku, apalagi mama selalu cerita kalau setiap kenaikan kelas tentu ada saja keadaan-keadaan yang membuat sekolah semakin berwarna. Baru saja aku mau melangkah ke arah lorong selatan perpustakaan, tiba-tiba aku mendengar suara seseorang memanggilku.
            “Feili, mau kemana?”
“Ke kelas yang baru, Bu” jawabku sambil menoleh ke arah belakang, yang ternyata adalah Bu Susi guru mata pelajaran Bahasa Indonesia.
            “Kelas yang baru? Kenapa ke arah sini, kelas barukan di sebelah sana” tunjuk Bu Susi.
“Astaga! Karena terlalu bersemangat saya sampai lupa kalau saya tidak tau kelas yang baru ada dimana.”
“Bagaimana sih kamu ini? Sini biar Ibu antar.”
Setelah Bu Susi mengantarku ke kelas yang baru, dengan wajah bahagia aku berjalan dan melihat-lihat bangku mana saja yang masih kosong. Sempat aku merasa bingung untuk memilih bangku mana yang akan aku tempati, namun pada akhirnya aku memilih bangku di pojok kiri depan. Kelas baru memang benar-benar sesuai dengan harapanku, cat dengan warna yang cerah, hiasan-hiasan menarik yang tertempel di dinding, dan ukuran kelas yang lebih luas membuat kelas ini jauh lebih baik daripada kelasku yang sebelumnya. Ada satu ciri khas yang menarik dari kelas ini yaitu di depan pintu kelas di beri tulisan B12 dengan bahan kertas-kertas majalah yang sudah tidak dipakai.
Bicara kelas baru, aku jadi teringat tentu di sini aku juga akan mendapatkan teman-teman yang baru. Berniat untuk mengajak berkenalan, tiba-tiba saja semua anak-anak di kelas ini berbondong-bondong ke luar dari kelas ini dengan sedikit berlari. Aku berpikir mungkin ada pengumuman untuk berkumpul di lapangan, maka dari itu aku berusaha mengikuti mereka. Namun, setelah aku berjalan agak jauh dari kelas, aku kehilangan jejak mereka. Aku hanya melihat siswa siswi yang lain sedang menjalankan aktivitas mereka masing-masing, ada yang membaca buku, bercanda dengan teman-teman, memakan sarapan pagi, dan bahkan ada yang sedang dihukum lari keliling lapangan. Aku baru sadar, mungkin anak-anak di kelas tadi berbondong-bondong ke luar kelas hanya untuk sekedar pergi ke tempat lain, bukan karena ada pengumuman untuk berkumpul. Jadi, aku memutuskan untuk kembali ke kelas baruku.
abe671715bb3b29671949617f0e4ccf8_cfdf459b6d4b0c43b2efaa98b1cb864f_raw.jpgKelas baruku menghilang, mungkin itulah yang menjadi pikiranku saat ini. Kelas baruku tidak lagi memiliki cat dengan warna yang cerah, hiasan-hiasan menarik yang tertempel di dinding, dan ukuran kelas yang luas. Aku hanya melihat ruangan yang sempit dengan cat dinding yang sudah pudar, dan banyak orang sedang berlalu-lalang di tempat ini. Saat aku melihat ke arah depan, aku melihat ada seorang wanita dengan mata merahnya melotot melihat ke arahku. Saat aku melihat ke samping kanan, aku melihat ada dua orang pria yang sedang berdebat karena salah satu dari mereka menumpahkan minuman ke baju pria itu. Saat aku melihat ke samping kiri, aku melihat ada seorang wanita tua berpenampilan seram dengan membawa tongkat sedang menutup matanya sambil duduk bersila. Saat aku melihat ke arah belakang, aku melihat ada beberapa anak kecil sedang membawa gunting untuk menggunting semua kertas yang ada di rungan ini. Ruangan ini sangat kacau, bahkan ada banyak bercak-bercak berwarna kemerahan di lantai.
Aku hanya bisa berdiam diri, tak tau harus melakukan apa. Hingga akhirnya, aku memberanikan diri untuk mencoba bertanya kepada salah satu wanita yang tadinya melotot melihat ke arahku sekarang sedang menangis sesenggukkan di pojok ruangan ini.
“Permisi, saya mau bertanya. Kalau boleh tau, ini tempat apa ya?” tanyaku dengan ragu.
“PERGI!” jawab wanita itu dengan nada membentak.
“PERGI! PERGI!” sahut dua orang lainnya.
“Jangan di sini, kamu salah berada di sini” ujar nenek berwajah seram, yang semula sedang duduk bersila sekarang sudah berada tepat di samping kiriku.
Mendengar itu semua aku sekarang benar-benar bingung, semua orang yang berada di ruangan ini perlahan-lahan mendekat ke arahku dengan wajah tak enaknya. Aku takut, tetapi aku teringat satu hal dari ruangan ini. Aku belum pernah melihat ke arah atas dari ruangan ini, hingga akhirnya dengan rasa ragu dan takut aku melihat ke arah atas. Tetapi tidak ada apa-apa, hanya ada langit-langit berwarna putih dengan beberapa noda yang biasa terpasang di suatu bangunan. Eits, tunggu, tunggu! Aku merasa ada seseorang yang menepuk pundakku.
“Feili, sedang apa di sini?” tanya seseorang.
“Aldi, kamu kok di sini?” jawabku dengan penuh rasa heran.
            “Loh, kelasku kan memang ada di sini, Fei” ujar Aldi dengan keheranan juga.
abe671715bb3b29671949617f0e4ccf8_cfdf459b6d4b0c43b2efaa98b1cb864f_raw.jpg            “Semua sudah kembali seperti keadaan yang semula. Tidak ada lagi ruangan sempit yang penuh orang aneh dengan tatapan seramnya, hanya ada kelas baru seperti pada umumnya. Lalu ruangan apa tadi itu? Apa tadi itu cuma bayanganku saja? Tapi ini benar-benar terasa seperti nyata” pikirku dalam hati.
            “Hei, kok jadi melamun?” tanya Aldi, sambil mengibas-ibaskan tangannya di depan wajahku.
“Eh, maaf-maaf aku cuma mau lihat-lihat kelasmu aja kok. Udah ya, aku balik dulu” elakku dengan pipi memerah sambil langsung berjalan ke arah pintu keluar kelas.
Setelah keluar dari kelas itu, aku berjalan kembali ke kelasku dan aku hanya bisa tertawa sendiri mengingat kejadian tadi. Ternyata, kelas yang aku masuki tadi adalah kelas B21 bukanlah B12 kelas baruku. Kelas baruku tidak hilang, kelas B12 dan B21 memanglah berdekatan hanya berbeda satu lorong. Memalukan sekali saat tadi ditanya oleh Aldi mengapa aku berada di dalam kelasnya, untung saja aku cepat mengelak. Bodoh sekali, aku bisa salah masuk kelas.
Tapi, aku masih tetap merasa penasaran. Ruangan apa ya, tadi itu? Apa itu sisi lain dari ruangan sekolahku?

Short story by. Feiamanda
 

Share:

0 komentar:

Posting Komentar